SEJARAH NOTARIAT.
(1) PENDAHULUAN.
Jika didasarkan kepada
kenyataan, bahwa kita telah mempunyai perundang-undangan di bidang
notariat, yakni "Peraturan Jabatan Notaris" (Notaris Reglement — Stbl.
1860 — 3), yang sekarang ini telah berumur kurang lebih 120 tahun,
sebagai pengganti dari "Instructie voor notarissen in Indonesia" (Stbl.
1822 —11) dan bahkan jauh sebelumnya, yakni dalam tahun 1620 telah
diangkat notaris pertama di Indonesia, seharusnya lembaga notariat ini
telah dikenal dan meluas sampai ke kota-kota kecil dan bahkan ke
desa-desa. Namun keadaannya tidaklah sedemikian, sehingga timbul
pertanyaan, apa yang menjadi sebab tidak dikenalnya lembaga notariat ini
secara meluas?
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan kurang
meluasnya dikenal lembaga ini. Salah satu faktor di antaranya ialah,
bahwa sebelum Perang Dunia II hampir seluruh notaris yang ada di
Indonesia pada waktu itu adalah berkebangsaan Belanda, sedang jumlah
notaris yang berkebangsaan Indonesia sangat sedikit jumlahnya. Pada
waktu itu lembaga notariat seolah-olah dimonopoli oleh orang-orang
Belanda. Lagi pula pada umumnya mereka mempunyai tempat kedudukan di
kota-kota besar, sehingga mudah dimengerti bahwa hubungan mereka dapat
dikatakan hanya dengan orang-orang Europa, Cina, Timur Asing dan bangsa
asing lainnya, yang biasanya bermukim di . kota-kota besar pula serta
sebagian kecil orang-orang Indonesia, yang terbatas pada golongan
tertentu dalam masyarakat.
Faktor lain yang tidak kurang
pentingnya ialah, bahwa masuknya lembaga notariat di Indonesia ialah
pada saat, di mana tingkat kesadaran dan budaya hukum dari masyarakat
bangsa Indonesia pada waktu itu, suatu masyarakat yang bersifat
primordial, yang masih berpegang teguh pada hukum adatnya dan kae,
dah-kaedah religieus, masih rendah dan sempit, lebih-lebih lagi di mana
para pengasuh dari lembaga notariat itu lebih menitik beratkan
orientasinya pada hukum Barat, semuanya itu merupakan faktor-faktor
penghambat dan yang tidak menguntungkan bagi perkembangan dan untuk
dikenalnya lembaga notariat ini dengan cepat dan secara luar di kalangan
masyarakat yang justru harus dilayaninya.
Lembaga kemasyarakatan
yang dikenal sebagai "notariat" ini timbul dari kebutuhan dalam
pergaulan sesama manusia, yang menghendaki adanya alat bukti baginya
mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan/atau terjadi di antara
mereka; suatu lembaga dengan para pengabdinya yang ditugaskan oleh
kekuasaan umum (openbaar gezag) untuk di mana dan apabila undang-undang
mengharuskan sedemikian atau dikehendaki oleh masyarakat, membuat alat
bukti tertulis yang mempunyai kekuatan otentik.
Berbicara mengenai
sejarah notariat di Indonesia, kiranya tidak dapat terlepas dari sejarah
lembaga ini di negara-negara Europa pada umumnya dan di negeri Belanda
pada khususnya. Dikatakan demikian oleh karena perundang-undangan
Indonesia di bidang notariat berakar pada "Notariswet" dari negeri
Belanda tanggal 9 Juli 1842 (Ned. Stbl. no. 20), sedang "Notariswet" itu
sendiri pada gilirannya, sekalipun itu tidak merupakan terjemahan
sepenuhnya, namun susunan dan isinya sebagian terbesar mengambil contoh
dari undang-undang notaris Perancis dari 25 Ventose an XI (16 Maret
1803) yang dahulu pernah berlaku di negeri Belanda, sehingga apabila
seseorang ingin untuk sungguh-sungguh mempelajari dan mengerti Peraturan
Jabatan Notaris (P.J.N.) yang berlaku di Indonesia, suatu studi
perbandingan mengenai ketiga perundang-undangan itu merupakan suatu
syarat yang tidak dapat
diabaikan. Perlunya hal itu lebih terasa
lagi, mengingat kenyataan bahwa literatur di bidang notariat Indonesia
dapat dikatakan hampir tidak ada. Satu-satunya literatur yang ada di
bidang notariat Indonesia yang lengkap adalah buku dari P. Vellema: "Het
reglement op het notarisambt in Indonesia", sedang dari buku H.W.
Roeby: "Het notarisambt en de notariele Ate" hanya Bagian I yang sempat
diterbitkan dan yang hanya membahas 17 pasal dari "Notaris Reglement",
sedang bagian-bagian selanjutnya hingga meninggalnya H.W. Roeby tidak
pernah diterbitkan.
Berlainan dengan di Indonesia, di negeri
Belanda terdapat banyak literatur di bidang hukum notariat, di samping
penerbitan-penerbitan berkala yang memuat karangan-karangan ilmiah di
bidang hukum notariat. Buku-buku di bidang hukum notariat yang ditulis
oleh para sarjana terkenal di negeri Belanda antara lain "De
Notariswet", karangan J.C. Melis, buku mana dapat dikatakan terdapat di
lemari buku dari setiap notaris di negeri Belanda dan isinya merupakan
pengertian notarieel di seluruh negeri itu, di samping buku-buku
karangan Prof. A. Pitlo, Mr. M.F.W. Treub, Mr. J. Wiarda, Prof. J.C. van
Oven, Mr. Sprenger van Eyk — Libourel, Prof. Schermer, Mr. Eggens, Mr.
A.J.B. Rijke, Mr. A.E.J. Bertling dan masih banyak lainnya. Tidak
-kurang pentingnya karangan-karangan ilmiah di bidang notariat-yang
secara teratur dimuat dalam W.P.N.R. (Weekblad voor Privaatrecht,
Notarisambt en Registratie) dan W.N.R. (Weekblad voor Notariaat en
Registratie), kedua-duanya merupakan penerbitan berkala yang sangat
dikenal di negeri Belanda.
(2) Notariat dalam abad pertengahan di Italia.
Sejarah dari lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai pada
abad ke-11 atau ke-12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa
pada zaman itu di Italia Utara. Daerah inilah yang merupakan tempat asai
dari notariat yang dinamakan "Latijnse notariaat" dan yang
tanda-tandanya tercermin dalam diri notaris yang diangkat oleh penguasa
umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima uang jasanya
(honorarium) dari masyarakat umum pula. Dengan demikian "Latijnse
notariaat" tidak berasal dari Rumawi Kuno, akan tetapi justru dinamakan
demikian berdasarkan kenyataan bahwa lembaga notariat ini meluaskan
dirinya dari Italia Utara.. Resepsi dari notariat ini yang menyebabkan
meluasnya lembaga, notariat di mana-mana. Resepsi dari notariat ini
ternyata juga menempuh jalan yang sama seperti yang ditempuh oleh
gelombang peradaban pada abad-abad terdahulu, yakni mula-mula meluas di
seluruh daratan Europa dan melalui negara Spanyol sampai ke
negara-negara Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Negara-negara yang
tidak turut mengambil bagian dalam resepsi "Latijnse notariaat" ini
adalah Kerajaan Inggris dan sebagian besar dari negara Skandinavia.
Walaupun di negara-negara yang disebut terakhir ini juga dikepal
perkataan "notaris", akan tetapi perkataan itu mempunyai arti yang lain.
Dalam
pada itu pertanyaan dari mana asalnya notariat dahulu, hingga sekarang
ini belum dapat terjawab, baik oleh para ahli sejarah maupun oleh para
sarjana lainnya. Para sarjana Italia telah mencoba mengadakan penelitian
sumbernya secara mendalam, namun mereka belum juga mencapai kesatuan
pendapat mengenai itu.
Dalam tahun 1888 diadakan peringatan
delapan abad berdirinya sekolah hukum Bologna, yang merupakan
universitas tertua di dunia. Pendiri dari universitas ini adalah
Irnerius. Dikatakan bahwa sekolah dari Irnerius ini berasal dari suatu
sekolah notariat. Apabila hal ini benar, maka tidak mengherankan, bahwa
karya pertama yang mempunyai nilai yang dihasilkan oleh universitas
Bologna ini adalah yang dipersembahkan bagi notariat, yakni:
"FORMULARIUM TABELLIONUM" dari Irnerius sendiri.
Seratus tahun
kemudian Rantero di Perugia mempersembahkan pula karyanya yang berjudul:
"SUMMA ARTIS NOTARIAE". Karya-karya lainnya menyusul dan pada akhir
abad ke-13 muncullah karya yang paling termasyhur "SUMMA ARTIS NOTARIAE"
dari seorang penduduk Bologna bernama Rolandinus Passegeri. Masih
banyak buku-buku lainnya yang ditulis oleh Rolandinus, terutama
buku-buku di bidang notariat, antara fain "FLOS TENTAMENTORUM".
Rolandinus merupakan "coryfee" dari para notaris sepanjang abad. Summa
summanya dipakai sampai abad ke-17.
Pembagian isi dan karya-karya
tersebut masih tetap dipertahankan sampai dengan abad ke-19. Dimulai
secara singkat dengan suatu Bab mengenai notariat sendiri, yakni
mengenai, sejarahnya, tugas dari notaris, syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh notaris, bentuk dari akta-akta dan apa yang harus dimuat
dalam akta, seperti misalnya, pemberitahuan dari hari, tanggal dan tahun
serta nama-nama dari para saksi, tentang salinan-salinan akta dan
kewajiban merahasiakan isi akta-akta, protokol dan esensialia-esensialia
lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan notaris.
Setelah
pembahasan singkat ini, menyusul uraian-uraian dari bagian-bagian hukum
perdata yang berhubungan dengan pekerjaan notaris di dalam praktek.
Bagian keperdataan dari Summa dan Artis biasanya dibagi dalam 3 pokok,
yakni
1. hukum perjanjian,
2. hukum waris dan
3. hukum
acara. perdata. Bagian terakhir ini diadakan, mengingat tugas
kepaniteraan dari para notaris pada badan-badan peradilan,
Di
dalam tahun 1568 seorang ahli hukum Perancis bernama Papon menulis
bukunya yang termasyhur di bidang notariat: "Les trois notaires".
Mula-mula
lembaga notariat ini dibawa dari Italia ke Perancis, di negara mana
notariat ini sepanjang masa sebagai suatu pengabdian kepada masyarakat
umum, yang kebutuhan dan kegunaannya senantiasa mendapat pengakuan,
telah memperoleh puncak perkembangannya. Dari Perancis ini pulalah pada
permulaan abad ke-19 lembaga notariat sebagaimana itu dikenal sekarang,
telah meluas ke negara-negara sekelilingnya dan bahkan ke negara-negara
lain.
Nama "notariat", dengan nama mana lembaga ini dikenal di
mana-mana, berasal dari nama pengabdinya, yakni dari nama "notarius".
Dalam buku-buku hukum dan tulisan-tulisan Rumawi klassik telah berulang
kali ditemukan nama atau titel "notarius" untuk menandakan suatu
golongan orang-orang yang melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis-menulis
tertentu, akan tetapi yang dinamakan "notarius" dahulu tidaklah sama
dengan "notaris" yang dikenal sekarang, hanya namanya yang sama.
Arti
dari nama "notarius" secara lambatlaun berubah dari artinya semula.
Dalam abad ke-2 dan ke-3 sesudah Masehi dan bahkan jauh sebelumnya,
sewaktu nama atau titel itu dikenal secara umum, yang dinamakan para
"notarii" tidak lain adalah orang-orang yang memiliki keahlian untuk
mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat di dalam menjalankan pekerjaan
mereka, yang pada hakekatnya mereka itu dapat disamakan dengan yang
dikenal sekarang ini sebagai "stenografen".
Sepanjang pengetahuan,
para "notarii" mula-mula sekali memperoleh namanya itu dari perkataan
"nota literaria", yaitu "tanda tulisan" atau "character", yang mereka
pergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan perkataan-perkataan.
Untuk
pertama kalinya nama "notarii" diberikan kepada orang-orang yang
mencatat atau menuliskan pidato yang diucapkan dahulu oleh Cato dalam
senaat Rumawi, dengan mempergunakan tanda-tanda kependekan
(abbreviations atau characters). Kemudian dalam bagian kedua dari abad
ke-5 dan dalam abad ke-6 nama. "notarii" diberikan secara khusus kepada
para penulis pribadi dari para Kaisar, sehingga dengan demikian nama
"notarii" kehilangan arti umumnya dan pada akhir abad ke-5 yang
diartikan dengan perkataan "notarii" tidak lain adalah "pejabat-pejabat
istana", yang melakukan berbagai ragam pekerjaan kanselarij Kaisar dan
yang semata-mata merupakan pekerjaan administratip.
Berhubung para
pejabat istana ini menduduki berbagai macam tempat di dalam
administrasi yang bersangkutan, maka dengan sendirinya terdapat
perbedaan tingkat di kalangan mereka sendiri. Pada waktu itu terdapat 5
tingkatan tertinggi dan orang yang menempati tingkatan tertinggi dari
kelima tingkatan itu merupakan orang kedua dalam administrasi itu.
Pekerjaan mereka terutama adalah untuk menuliskan segala sesuatu yang
dibicarakan dalam konsistorium Kaisar pada rapat-rapat yang membahas
soal-soal di bidang kenegaraan. Juga para "notarii" yang mempunyai
kedudukan tinggi ini tidak mempunyai persamaan dengan notaris yang,
dikenal sekarang. Yang sama hanya nama, akan tetapi institut dari
"tribunii notarii kekaisaran" ini mempunyai pengaruh besar di dalam
terjadinya notariat sekarang.
(3) Tabeliones.
Selain para
"notarii" juga pada permulaan abad ke-3 sesudah Masehi telah dikenal
yang dinamakan "tabeliones". Sepanjang mengenai' pekerjaan yang
dilakukan oleh para "tabeliones" ini, mereka mempunyai beberapa
persamaan dengan para pengabdi dari notariat, oleh karena mereka adalah
orang-orang yang ditugaskan bagi kepentingan masyarakat umum untuk
membuat akta-akta dan lain-lain surat, walaupun jabatan atau kedudukan
mereka itu tidak mempunyai sifat kepegawaian dan juga tidak ditunjuk
atau diangkat oleh kekuasaan umum untuk melakukan sesuatu formalitas
yang ditentukan oleh undang-undang.
Para "tabeliones" ini lebih
tepat untuk dipersamakan dengan apa yang dikenal sekarang sebagai
"zaakwaarnemer" daripada sebagai notaris sekarang ini. Para "tabeliones"
ini telah dikenal semasa pemerintahan Ulpianus, sedang mengenai
pekerjaan para "tabeliones" ini mulai diatur perundang-undangannya
secara luar dalam suatu konstitusi dari tahun 537 oleh Kaisar
Justinianus, akan tetapi juga tidak memberikan sifat kepegawaian pada
jabatan itu. Oleh karena pekerjaan para "tabeliones" ini mempunyai
hubungan erat dengan peradilan, mereka ditempatkan di bawah pengawasan
pengadilan.
Berdasarkan kenyataan bahwa para "tabeliones" dari
pengangkatannya oleh yang berwajib tidak memperoleh wewenang untuk
membuat akta-akta dan surat-surat lain, maka akta-akta dan surat-surat
yang mereka perbuat itu tidak mempunyai kekuatan otentik, sehingga
akta-akta dan surat-surat tersebut hanya mempunyai kekuatan seperti akta
yang dibuat di bawah tangan. Kekuatan pembuktian dari akta yang dibuat
oleh para "tabeliones" pada hakekatnya jauh tertinggal dari yang dibuat
di hadapan yang berwajib, kepada surat-surat yang disebut terakhir mana,
sebagai-mana halnya dengan surat ketetapan dari badan peradilan dalam
arti sempit, diberikan yang dinamakan "publics fides".
(4) Tabularii.
Di samping para "tabeliones" masih terdapat suatu golongan' orang-orang
yang menguasai teknik menulis, yakni yang dinamakan "tabularii", yang
memberikan bantuan kepada masyarakat di dalam pembuatan akta-akta dan
surat-surat. Para "tabularii" ini adalah pegawai negeri yang mempunyai
tugas mengadakan dan memelihara pembuktian keuangan kota-kota dan juga
ditugaskan untuk melakukan pengawasan atas arsip dari magisrat•
kota-kota, di bawah ressort mana mereka berada. Oleh karena mereka juga
dinyatakan berwenang untuk dalam beberapa hal tertentu membuat
akta-akta, dengan sendirinya masyarakat mempergunakan tenaga mereka,
sehingga pada zaman pemerintahan Justinianus (527 — 565), mereka dalam
soal-soal pembuatan akta dan surat merupakan saingan berat bagi para
"tabeliones".
Semasa kekuasaan dari Longobarden (568 — 774),
keadaan yang berkembang pada masa kerajaan West Romein, dapat dikatakan
telah berlangsung tanpa perubahan dan para "tabeliones" tetap memberikan
jasa jasa mereka kepada masyarakat umum, tidak hanya kepada orang-orang
Rumawi yang telah ditaklukkan, akan tetapi juga kepada orang-orang
Longobarden sendiri. Dari kebiasaan raja-raja Longobarden untuk
mengangkat para "notarii" yang dipekerjakan pada kanselarij kerajaan
dari kumpulan-kumpulan para "tabeliones" dan juga berdasarkan kenyataan
bahwa para "tabeliones" yang dipilih menjadi "Notarif' lebih terhormat
di mata rakyat daripada "para penulis biasa", yang menyebabkan
masyarakat lebih suka mempergunakan tenaga mereka daripada para
"tabeliones" biasa, maka di kalangan para "tabeliones" segera terjadi
kebiasaan untuk tanpa pengangkatan menjadi pegawai istana, menamakan
dirinya "notarii" dan karenanya di dalam daerah kekuasaan raja-raja
Longobarden nama "tabellio" diganti menjadi "notarius".
Demikianlah
pada sa'at oleh Karel de Grote diadakan perubahan-perubahan dalam hukum
peradilan, di Italia dikenal "notarii" untuk kanselarij raja-raja dan
kanselarij Paus, sedang untuk tiap-tiap gereja induk dan pejabat-pejabat
agama yang mempunyai kedudukan lebih rendah dari Paus, demikian juga
untuk kepentingan masyarakat umum untuk menetapkan atau menyatakan
hubungan-hubungan hukum keperdataan di antara mereka, di dalam daerah
kekuasaan Paus dikenal "tabelio" dan "clericus notarius publicus" an dan
di dalam kerajaan Longobarden dan juga sesudah jatuhnya kerajaan ini
(dengan direbutnya Pavia dan penurunan raja Desiderius dari takhtanya
oleh Karel de Grote) dikenal tabellio yang menamakan dirinya "notarius"
dan "notarii", yang diangkat sebagai pegawai.
Salah satu perubahan
terpenting dalam notariat di bidang peradilan telah dilakukan oleh
Karel de Grote, yakni pemberian perintah kepada para Komisaris Raja guna
menjamin pelaksanaan peraturan-peraturan perundang-undangan di berbagai
bagian dari kerajaan Perancis, untuk memperbantukan seorang "notarius"
atau "cancellarius" pada badan-badan peradilan di tiap-tiap daerah
kekuasaan seorang "graaf', terutama dengan tugas untuk menuliskan semua
apa yang terjadi pada sidang-sidang peradilan tersebut.
Setelah
mengalami berbagai perkembangan, maka lambatlaun -"tabellionaat" dan
"notariat" (golongan para notaris yang diangkat) bergabung dan
menyatukan diri dalam suatu badan yang dinamakan "collegium" dari para
noratius yang diangkat. Para notarius yang tergabung dalam collegien ini
dapat dipandang sebagai para pejabat yang satu-satunya berhak untuk
membuat akta-akta, baik di dalam maupun di luar pengadilan
(gerechtelijke dan buitengerechtelijke akten).
Demikianlah
terjadinya notariaat di Italia, yang menunjukkan banyak persamaan dengan
notariat sekarang, walaupun masih terdapat perbedaan penting di antara
yang satu dengan yang lain. Terdapat persamaan oleh karena notaris yang
diangkat itu dalam kedudukannya sebagai pejabat, sekalipun tidak secara
tegas dinyatakan berwenang, untuk itu oleh kekuasaan umum (openbaar
gezag), membuat akta untuk masyarakat, sebagaimana halnya dengan para
notaris sekarang. Akan tetapi terdapat perbedaan besar, oleh karena akta
yang dibuat oleh para notaris yang diangkat itu tidak mempunyai
kekuatan otentik, juga tidak mempunyai kekuatan eksekutorial,
demikianjuga tidak mendapat kepercayaan, sebagaimana yang dimiliki oleh
akta-akta yang dibuat oleh para notaris sekarang.
Kalau diperhatikan
kedudukan dari para notaris itu, maka dalam arti kata yang sebenarnya
mereka merupakan suatu kelas yang terhormat di dalam masyarakat, bahkan
banyak di antara mereka yang sampai dapat menduduki jabatan-jabatan
tertinggi di dalam pemerintahan. Seperti misalnya Rolandinus Passegeri
yang disebut di atas, yang menjadi penguasa tidak bermahkota dari
Bologna, lawan dari Frederik II. Demikian pula yang diperbuat oleh
Coluccio Salutati di Florence dan Alberto Mussato di Padua, kedua-duanya
semula adalah notaris, akan tetapi melalui jenjang-jenjang kepegawaian
menjadi penguasa dari kota di mana mereka bertempat tinggal.
(5) Masa kemerosotan di bidang notariat.
Setelah notariat sampai pada puncak perkembangannya, maka pada akhir
abad ke-14 terjadilah kemerosotan di bidang notariat. Mulai sejak masa
itu jabatan notaris lambat-laun jatuh di tangan orang-orang yang tidak
mempunyai keahlian di bidang notariat. Hal ini sebagian besar terjadi
disebabkan tindakan dari penguasa sendiri pada waktu itu, yang karena
kekurangan uang, menjual jabatan-jabatan notaris kepada orang-orang,
tanpa mengindahkan apakah mereka ini mempunyai cukup keahlian di bidang
notariat. Tidak mengherankan apabila karenanya dari kalangan masyarakat
timbul dan terdengar banyak kluhan-keluhan mengenai kebodohan dari para
notaris dan kekurang kepercayaan terdahap mereka. Dari orang-orang yang
merasa dirugikan terdengar ucapan-ucapan: "Ognorantia notariorum, pans
advocatorum", yang berarti "Kebodohan dari para notaris adalah
pencaharian (roti) bagi para pengacara" dan "Stultitia notariorum mundus
perit", yang berarti "Dunia akan mengalami kehancurannya karena
kebodohan para notaris". Lazimnya kalau sekali terjadi kemerosotan, maka
untuk memperbaiki kembali keadaan itu akan memerlukan sangat banyak
waktu. Kemerosotan di bidang notariat ini tidak terbatas di Italia saja,
akan tetapi juga terjadi di negara-negara lain yang mengenai lembaga
notariat ini. Hal ini terbukti dari ucapan-ucapan/kata-kata yang
mengandung sindiran terhadap notariat di berbagai negara, seperti
misalnya: "Een van de negen plagen der wereld is het etcetera der
notarissen"; "Aus drei Dingen macht der Teufel seinen Salat: aus
Advokatenzungen, aus Notarfingern and das dritte halt er sich vor";
"Notai, birri e messi, non timpaccier con essi" (hindarilah para
notaris, para abdi peradilan dan polisi).
(6) Perkembangan notariat di Perancis.
Lembaga notariat ini, yang seperti dikatakan di atas perkembangannya
dimulai di Italia Utara, dalam abad ke-13 dibawa ke Perancis, di mana
notariat memperoleh puncak perkembangannya. Raja Lodewijk de Heilige
yang dianggap sebagai peletak dasar bagi kesatuan ketatanegaraan
Perancis, banyak berjasa di dalam pembuatan perundang-undangan. Hasil
pekedaannya dalam pembuatan perundang-undangan di berbagai lapangan
masih tetap mempunyai nilai yang tinggi. Juga ia banyak berjasa di dalam
pembuatan perundang-undangan di bidang notariat, yang menjadi contoh
bagi perundang-undangan selanjutnya di bidang notariat.
Revolusi
Perancis tidak hanya menjadi pendorong untuk mengadakan kodifikasi, akan
tetapi juga untuk pengundangan dari berbagai perundang-undangan bagi
daerah-daerah bagian dari kerajaan Perancis. Pada tanggal 6 Oktober 1791
di Perancis diundangkan undang-undang di bidang notariat.
Dengan
mulai berlakunya undang-undang baru tersebut, maka hapuslah perbedaan
yang terdapat sebelumnya di antara berbagai macam notaris, sehingga
berdasarkan undang-undang tersebut hanya dikenal satu macam notaris.
Undang-undang tersebut kemudian diganti lagi, yakni dengan undang-undang
dari 25 Ventose an XI (16 Maret 1803). Berdasarkan undang-undang ini
para notaris dijadikan "ambtenaar" dan sejak itu mereka berada di bawah
pengawasan dari "Chambre des notaires".
Untuk pertama kalinya
berdasarkan undang-undang tersebut terjadilah pelembagaan dari notariat
yang dimulai di Perancis. Tujuan utama dari pelembagaan notariat ialah
untuk memberikan jaminan yang lebih baik bagi kepentingan masyarakat,
oleh karena tidak boleh dilupakan, bahwa notariat mempunyai fungsi yang
harus diabdikan bagi kepentingan masyarakat umum dan tidaklah
dimaksudkan oleh undang-undang untuk memberikan kepada notariat suatu
kedudukan yang kuat bagi kepentingan notariat itu sendidi, akan tetapi
untuk kepentingan umum. Kalaupun kepada notariat diberikan oleh
undang-undang wewenang dan kepercayaan istimewa, semuanya tidak lain
dimaksudkan, agar notaris dapat melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya
untuk kepentingan umum dan bukan untuk kepentingannya sendiri.
Jika
diperhatikan apa yang diuraikan di atas, maka dapatlah diketahui, bahwa
proses pemberian bentuk perundang-undangan bagi notariat ini telah
menempuh suatu jalan yang tidak mudah dan suatu jangka waktu yang tidak
kurang dari lima abad.
(7) Sejarah notariat di negeri Belanda.
Pada sa'at puncak perkembangannya itu dan setelah terjadinya untuk
pertama kalinya pelembagaan dari notariat ini, notariat Perancis
sebagaimana itu dikenal sekarang, dibawa ke negeri Belanda dan dengan
dua bush dekrit Kaisar, masing-masing tanggal 8 Nopember 1810 dan
tanggal 1 Maret 1811 - dinyatakan berlaku di seluruh negeri Belanda,
terhitung mulai tanggal 1 Maret 1811. Dengan adanya kedua dekrit itu,
maka terdapatlah di negeri Belanda suatu peraturan yang berlaku umum
yang pertama di bidang notariat, di mana sebelumnya tidak ada satu
ketentuan umum dan yang serupa yang berlaku di berbagai bagian dari
negeri Belanda, sebagaimana yang ada di Perancis.
Sejak kapan
adanya notariat di negeri Belanda dan dari mana asalnya, artinya bukan
notariat yang berkembang di Italia Utara dan kemudian dibawa ke
Perancis, tidak diketahui dengan pasti.
Kebetulan pula para
sarjana dan para ahli sejarah di negeri Belanda sangat sedikit sekali
memberikan perhatian di bidang perkembangan hukum ini, sehingga dapat
dimengerti bahwa sejarah dari notariat ini, sebagaimana dikatakan oleh
Prof. A. Pitlo masih merupakan suatu daerah yang dapat dikatakan belum
diolah.
Perundang-undangan notariat Perancis yang diberlakukan di
negeri Belanda itu tidak segera hilang setelah lepasnya negara itu dari
kekuasaan Perancis dalam tahun 1813. Baru dalam tahun 1842, setelah
berulang-ulang adanya desakan dari rakyat Belanda untuk membentuk suatu
perundang-undangan nasional yang sesuai dengan aspirasi rakyat di bidang
notariat, maka dikeluarkanlah Undang-undang tanggal 9 Juli 1842 (Ned.
Stb. no. 20) tentang jabatan notaris. Walaupun dari mulanya dimaksudkan
untuk menyusun suatu perundang-undangan nasional mengenai jabatan
notaris, namun menurut kenyataannya yang terjadi tidak lain daripada
mengadakan perubahan-perubahan dalam "Ventosewet" itu sendiri.Seluruh
bangunan dari undang-undang tersebut tetap seperti semula.
Perbedaan-perbedaan terpenting antara Ventosewet dan De Notariswet antara lain adalah sebagai berikut:
1. Ventosewet mengenal 3 golongan notaris, yakni:
1. hofnotarissen,
2. Arrondissementsnotarissen dan
3. kantonnotarissen, yang berturut-turut mempunyai tempat kedudukan dan
menjalankan tugas jabatannya di seluruh daerah hukum dari
"Gerechtshof', "Rechtbank" dan "Kantongerecht".
Notariswet hanya
mengenal satu macam notaris dan tiap-tiap notaris, dengan tidak
mengadakan pembedaan, berwenang untuk menjalankan tugas jabatannya di
seluruh daerah hukum dari "Rechtbank", di dalam daerah hukum mana
notaris itu bertempat kedudukan.
2. Berdasarkan ketentuan dalam
Ventosewet diadakan yang dinamakan "Chambres des notaires" yang
mempunyai tugas rangkap, yaitu melakukan pengawasan terhadap para
notaris dan menguji para notaris. Oleh karena badan ini menurut
penilaian dari pembuat undang-undang tahun 1842 di dalam menjalankan
tugasnya tidak mencapai tujuannya, maka badan ini dihapuskan dan
pengawasan terhadap para notaris diserahkan kepada badan-badan
peradilan, sedang tugas untuk mengadakan ujian para notaris mula-mula
dipercayakan kepada "gerechtshoven" dan kemudian dalam tahun 1878
dijadikan Ujian Negara.
3. Ventosewet mengharuskan adanya suatu
masa magang (werkstage) bagi para calon notaris selama 6 tahun dan
penyerahan suatu sertifikat yang dinamakan "certificate de moralite et
de capacite" (keterangan berkelakuan baik dan memiliki kecakapan) dari
calon pelamar yang diberikan oleh "Chambre de discipline" dari daerah
hukum kamar, di mana calon notaris itu hendak menjalankan tugas
jabatannya. Dalam tahun 1842 masa magang (werkstage) ini dihapuskan
berdasarkan pertimbangan yang semata-mata bersifat teoritis dan tidak
tepat, bahwa tidak menjadi soal dari mana seseorang mendapatkan
keahliannya itu, asai saja ia memilikinya dan lagi pula suatu jangka
waktu tertentu mungkin bagi seseorang adalah terlalu pendek, sedang bagi
yang lain terlalu lama, sehingga sebagai penggantinya diadakan Ujian
Negara.
4. Menurut Ventosewet suatu akta notaris hanya dapat
dibuat di hadapan 2 notaris tanpa saksi-saksi atau di hadapan seorang
notaris dan 2 saksi. Notariswet 1842 menghapuskan ketentuan itu dan
menetapkan pembuatan akta dilakukan di hadapan seorang notaris dan 2
saksi — kecuali untuk pembuatan akta superskripsi dari surat wasiat
rahasia — dengan ancaman batal demi hukum, jika tidak dilakukan
demikian.
Terhadap undang-undang tahun 1842 ini banyak suara-suara
yang tidak puns dan sangat diinginkan untuk mengadakan- peninjauan yang
menyeluruh dari undang-undang itu, namun demikian undang-undang
tersebut hingga kini masih tetap berlaku, sungguhpun telah banyak
mengalami perubahan.
Demikianlah selayang pandang sejarah
terjadinya dan perkembangan dari notariat di Europa, yang kemudian
melalui negeri Belanda dibawa ke Indonesia dan yang dikenal sekarang ini
sebagai lembaga notariat, dengan para notaris sebagai pengabdinya.
(8) Notariat dalam abad ke-17 di Indonesia.
Notariat seperti yang dikenal di zaman "Republik der Verenigde
Nederlanden" mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan
beradanya "Oost Ind. Compagnie" di Indonesia.
Pada tanggal. 27
Agustus 1620, yaitu beberapa bulan setelah dijadikannya Jacatra sebagai
ibukota (tanggal 4 Maret 1621 dinamakan "Batavia"), Melchior Kerchem,
Sekretaris dari "College van Schepenen" di Jacatra, diangkat sebagai
notaris pertama di Indonesia. Adalah sangat menarik perhatian cara
pengangkatan notaris pada waktu itu, oleh karena berbeda dengan
pengangkatan para notaris sekarang ini, di dalam akta pengangkatan
Melchior Kerchem sebagai notaris sekaligus secara singkat dimuat suatu
instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan dan wewenangnya, yakni untuk
menjalankan tugas jabatannya di kota Jacatra untuk kepentingan publik.
Kepadanya ditugaskan untuk menjalankan pekedaannya itu sesuai dengan
sumpah setia yang diucapkannya pada waktu pengangkatannya di hadapan
Baljuw di Kasteel Batavia (yang sekarang dikenal sebagai gedung
Departemen Keuangan — Lapangan Banteng), dengan kewajiban untuk
mendaftarkan semua dokumen dan akta yang dibuatnya, sesuai dengan
bunyinya instruksi itu.
Sekedar untuk pengetahuan cara
pengangkatan seorang notaris pada abad ke-17, di bawah ini dimuat "in
extenso" akta pengangkatan notaris Melchior Kerchem tersebut:
"Jan
Pieterz. Coen, Gouverneur-Generaal over alle landen, eylanden enz.
alien dengenen die desen sullen sien of hooren lesen, saluijt, doen te
weten, alsoo wij tot gerief ende ten dienste van de inwoonderen ende
traficanten deser stede Jacatra goet ende hooch noodig achten eenen
notarium publicum te creeeren en de te admiteeren. So ist, dat wij den
eersamen Melchior Kerchem, Secretaris van't collegie van schepenen deser
stede, ons van zijn ervarenheyt ende suffisantie tot het voors. ampt
wel ende ten vollen onderricht houdende, gecreert, gestelt ende
geadmiteerd hebben, gelijck wij hem creeren, stellen en admiteeren mits
desen, omme het ampt van notarius publicum binnen het ressort ende
jurisdictie deser stede Jacatra te mogen bedienen ende exerceeren, alle
libellen, codicillen, instrumenten, preparatoir informatie, contracts
van coopmanschappe, huweiyekse voorwaerden, testamenten ende andre acten
ende stiupulatien nodich ende ten dienste der gemeente, gaende en
comende man te passeren ende expedieeren, mits dat volgens den eedt van
getrouwicheyt in onze handen gedaen, gehouden sal wesen alle
instrumenten ende notariale acten, sonder eenige frauds sinceer ende
suiverlyck te coucheren ende passeren ende voorst in alles te doen, wat
een goet ende getrouw notarius toestaet ende behoort te doen.
Ordonneeren
en bevelen derhalve alien inwoonderen, in dienst wesende persoonen ende
traficanten in de jurisdictie deser stede, onder ons gebiet ende
gehoorsaemheyt sorterende den voors. Ed. Melchior Kerchem voor sulk aan
te nemen, erkennen ende respecteren,. Actum in 't fort Jacatra."
Lima
tahun kemudian, yakni pada tanggal 16 Juni 1625, setelah jabatan
"notaris public" dipisahkan dari jabatan "secretaries van den gerechte"
dengan surat keputusan Gubernur Jenderal tanggal 12 Nopember 1620, maka
dikeluarkanlah instruksi pertama untuk para notaris di Indonesia, yang
hanya berisikan 10 pasal, di antaranya ketentuan bahwa para notaris
terlebih dahulu diuji dan diambil sumpahnya.
Adapun sumpah yang
harus diucapkan oleh seorang notarius pada waktu itu sebelum menjalankan
jabatannya, berbunyi sebagai berikut:
"Ik sweere en beloove dat ik
mijn ampt in alle vlijticheyt ende getrouwicheyt bedienen sal, dat ick
in 't selve geen valsheyt plegen, nochte eenige ongeoorloofde ende
verboden instrumenten voor yemant van wat qualiteyt hij zij maecken sal,
dat ick het secreet van parthije niet en sal openbaren, dat ick mij
voorts in alles soo, draegen sal als een vlijtich, vroom, eerlijck ende
getrouwe notaris toe staet; dit en sal ick niet naer laeten om eenige
giften ende gaven, gelt of goet, haet of nijt, ofte eenig dinck
terwerelt, soo waerlijk most mij Godt Almachtich helpen."
Juga di
dalam instruksi tersebut ditentukan, bahwa para notaris wajib
menjalankan jabatannya itu "sonder respect off aensien van persoonen."
Namun
menurut kenyataannya para notaris pada waktu itu tidak mempunyai
kebebasan di dalam menjalankan jabatannya itu, oleh karena mereka pada
masa itu adalah "pegawai" dari Cost Ind. Compagnie. Bahkan dalam tahun
1632 dikeluarkan plakkaat yang berisi-ketentuan bahwa para notaris,
sekretaris dan pejabat lainnya dilarang untuk membuat akta-akta
transport, jual-beli, surat wasiat dan lain-lain akta, jika tidak
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Gubernur Jenderal dan "Raden
van Indie", dengan ancaman akan kehilangan jabatannya. Dalam pada itu di
dalam praktek ketentuan tersebut tidak dipatuhi oleh pejabat-pejabat
yang bersangkutan, sehingga akhirnya ketentuan itu menjadi tidak
terpakai lagi.
Setelah pengangkatan Melchior Kerchem sebagai
notaris dalam tahun 1620, jumlah notaris terns bertambah, walaupun
lambat, yang disesuaikan menurut kebutuhan pada waktu itu. Dalam tahun
1650 ditentukan, bahwa di Batavia akan diadakan hanya 2 orang notaris
dan untuk menandakan bahwa jumlah ini telah mencukupi, dikeluarkanlah
bersamaan dengan itu ketentuan, bahwa para "prokureur" dilarang untuk
mencampuri pekerjaan notaris, dengan maksud agar dengan cara demikian
masing-masing golongan dapat memperoleh penghasilannya secara adil.
Dalam
tahun 1654 jumlah notaris di Batavia ditambah lagi menjadi 3 dan
kemudian dalam tahun 1751 jumlah ini menjadi 5, dengan ditentukan bahwa 4
dari padanya harus bertempat tinggal di dalam kota, yakni 2 di daerah
bagian Barat dan 2 di bagian Timur, sedang yang seorang lagi harus
tinggal di luar kota, apakah itu di bagian Selatan ataupun di salah satu
"gracht" di luar "Rotterdammerpoort" di bagian Utara dari Jasserbrug.
Di
daerah di luar Batavia yang dinamakan "buitenposten", juga terdapat
notaris. Petunjuk mengenai itu diketemukan dalam suatu dokumen resmi
(regeringsstuk) dari tahun 1686, akan tetapi keterangan-keterangan
mengenai ketentuan-ketentuan yang diperlakukan terhadap mereka yang
menjalankan jabatan notaris ini, yang berasal dari waktu itu, tidak
diketahui. Namun banyak petunjuk yang memberikan dugaan, bahwa- yang
ditugaskan untuk menjalankan jabatan itu adalah orang-orang yang disebut
"gequalificeerde van de penne."
Sejak masuknya notariat di
Indonesia sampai tahun 1822, notariat ini hanya diatur oleh 2 buah
reglemen yang agak terperinci, yakni dari tahun 1625 dan 1765.
Reglemen-reglemen tersebut sering mengalami perubahan-perubahan, oleh
karena setiap kali apabila untuk itu dirasakan ada kebutuhan, bahkan
juga hanya untuk pengangkatan seorang notaris, maka peraturan yang ada
dan juga sering terjadi peraturan yang sebenarnya tidak berlaku lagi,
diperbaharui, dipertajam atau dinyatakan berlaku kembali ataupun
diadakan peraturan tambahannya.
Menurut kenyataannya semuanya itu
dilakukan semata-mata hanya untuk kepentingan dari yang berkuasa pada
waktu itu dan sekali-kali bukan untuk kepentingan umum, sebagaimana
halnya sekarang ini. Salah satu ketentuan dalam reglemen-reglemen
tersebut ialah larangan kepada para Komisaris dari Raad van Justitie di
Batavia yang dimuat dalam Reglemen tahun 1765, agar di dalam melakukan
inspeksi atas protokol para notaris tidak mengadakan pemeriksaan lebih
jauh atas surat-surat wasiat dan akta-akta lain daripada yang di
perlukan untuk menjalankan tugas itu, lagi pula mereka harus menjaga
agar para Sekretaris atau para pegawai yang disumpah, yang membantu
mereka di dalam melakukan inspeksi itu tidak turut melakukan pemeriksaan
itu. Alasan untuk mengeluarkan peraturan itu ialah disebabkan adanya
laporan pada waktu penyerahan rancangan "Nieuwe Bataviasche Rechten"
kepada Pemerintah Pusat dalam tahun 1761, bahwa di Batavia terdengar
desas-desus adanya usaha dari Komisaris Raad van Justitie di Batavia
untuk mengetahui seluruh isi protokol dari para notaris dan dengan
demikian dapat mengetahui rahasia dari seluruh kota Batavia.
Selama
pemerintahan antara (tussenbestuur) dari Inggeris(1795-1811)
peraturan-peraturan lama di bidang notariat yang berasal dari "Republiek
der Vereenigde Nederlanden" tetap berlaku dan bahkan setelah
berakhirnya kekuasaan Inggeris di Indonesia, peraturan-peraturan lama
tersebut tetap berlaku tanpa perubahan sampai dengan tahun 1822.
Dalam
hubungan ini perlu diperhatikan, bahwa "Ventosewet" yang diberlakukan
di negeri Belanda tidak pernah dinyatakan berlaku di Indonesia, juga
tidak sesudah restaurasi dari negeri Belanda dalam tahun 1813, sehingga
yang berlaku di Indonesia adalah peraturan-peraturan lama yang berasal
dari "Republiek der Vereenigde Nederlanden". Dengan demikian maka
kedudukan notaris di Indonesia pada waktu itu adalah sama dengan
kedudukan notaris pada masa pemerintahan "Republiek der Vereenigde
Nederlanden" sebelum negara itu jatuh di bawah kekuasaan Perancis,
sedang di negeri Belanda sendiri sejak tanggal 1 Maret 1811 notariat
telah dilembagakan berdasarkan dekrit-dekrit tanggal 8 Nopember 1810 dan
tanggal 1 Maret 1811, seperti yang diterangkan di atas.
Di dalam
tahun 1822 (Stb. no. 11) dikeluarkan "Instructie voor de notarissen in
Indonesia", yang terdiri dari 34 pasal. Jika diperhatikan
ketentuan-ketentuan dalam Instructie tersebut, ternyata tidak lain
daripada suatu resume dari peraturan-peraturan yang ada sebelumnya,
suatu bunga rampai dari plakkat-plakkat yang lama.
Di dalam
penyusunan dari Instructie ini ternyata tidak ada dituruti
ketentuan-ketentuan seperti yang terdapat dalam "Ventosewet",
sebagaimana itu dahulu berlaku di negeri Belanda. Satu-satunya pasal
yang agak menyerupai ketentuan dalam "Ventosewet" adalah pasal 1 dari
Instructie tersebut, yang mengatur secara hukum batas-batas tugas dan
wewenang dari seorang notaris dan yang kiranya dapat dipandang sebagai
langkah pertama di dalam pelembagaan notaris di Indonesia, yang
menyatakan, bahwa "Notaris adalah pegawai umum yang harus mengetahui
seluruh perundang-undangan yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat
untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk
memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan
tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grossenya,
demikian juga salinannya yang sah dan benar."
Selama 38 tahun usianya, Instructie tersebut tidak banyak mengalami perubahan.
Dalam
tahun 1860 Pemerintah Belanda pada waktu itu menganggap telah tiba
waktunya untuk sedapat mungkin menyesuaikan peraturan-peraturan mengenai
jabatan notaris di Indonesia dengan yang berlaku di negeri Belanda dan
karenanya sebagai pen,,', anti dari peraturan-peraturan yang lama
diundangkanlah Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement) yang
dikenal sekarang ini pada tanggal 26 Januari 1860 (Stb. no. 3) mulai
berlaku pada tanggal 1 Juli 1860. Dengan diundangkannya "Notaris
Reglement" ini, maka diletakkanlah dasar yang kuat bagi pelembagaan
notariat di Indonesia.
Sebagaimana dahulu halnya dengan
";Notariswet" yang berlaku di negeri Belanda, dari mana lahirnya
Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement) yang berlaku di Indonesia,
pada waktu diundangkan dan juga sesudahnya tidak mendapat sambutan yang
baik dari masyarakat Belanda, hal serupa juga dialami oleh Peraturan
Jabatan Notaris ini, tidak hanya dari pihak yang berhubungan langsung
dengan peraturan ini, akan tetapi juga dari pihak-pihak di luar
notariat.
Mr. L.A.P.T. Buijn (bekas Direktur van Justitie) dalam
Ind. Rijdschrift v.h. Recht, bagian 18 fol. 25 dst. memberikan
pendapatnya mengenai peraturan tersebut sebagai berikut:
"Sungguh
menimbulkan kesan yang memilukan di dalam menemukan, bahwa reglemen itu
penuh dengan peraturan hukuman. Reglemen itu lebih merupakan suatu
reglemen disiplin (tucht) untuk suatu batalyon penghukum daripada suatu
reglemen yang bertujuan untuk mengatur dan menentukan bidang tugas dari
para pejabat umum, dari siapa oleh kepentingan Negara dituntut agar
supaya martabat dan wataknya dipertahankan dan yang di dalam barisan
para pejabat mempunyai/mengambil tempat yang terhormat dan tinggi."
Jika
diperhatikan isi pasal-pasal dalam Peraturan Jabatan Notaris tersebut,
maka spa yang dikatakan oleh Mr. Buijn di atas memang adalah tepat
sekali. Peraturan Jabatan Notaris terdiri dari 66 pasal, dari mana 39
pasal mengandung ketentuan-ketentuan hukuman, di samping banyak
sanksi-sanksi untuk membayar penggantian biaya, ganti rugi dan bunga.
Ke-39 pasal tersebut terdiri dari 3 pasal mengenai hal-hal yang
menyebabkan hilangnya jabatan (ambtsverbeurte), 5 pasal tentang
pemecatan, 9 pasal tentang pemecatan sementara dan 22 pasal mengenai
denda.
Pasal-pasal yang terdapat dalam Peraturan Jabatan Notaris
adalah copie dari pasal-pasal dalam Notariswet yang berlaku di negeri
Belanda. Dalam pada itu di dalam Peraturan Jabatan Notaris tidak
terdapat satu pasal pun yang mengharuskan adanya suatu "masa magang"
(werkstage), berbeda dengan di negeri Belanda, di mana di dalam
Notariswet, dari mana sebenarnya Peraturan Jabatan Notaris dilahirkan,
bahwa salah satu syarat untuk dapat diangkat sebagai notaris, yang
bersangkutan harus dapat menyerahkan suatu bukti, bahwa ia sudah pernah
bekerja (tidak terputus-putus) pada salah satu kantor notaris selama
sekurang-kurangnya 3 tahun.
Sebenarnya di Indonesia telah beberapa
kali dikemukakan tentang perlunya diadakan "masa magang" ini. Sangat
disayangkan bahwa pada waktu dikeluarkan Ordonansi tahun 1907 no. 485,
yang mengatur lebih lanjut perincian mengenai mata pelajaran untuk
ujian-ujian Bagian I, II dan III, tidak sekaligus diatur di dalamnya
tentang keharusan untuk menempuh suatu "masa ma-gang" (werkstage) bagi
para calon notaris.
Menjadi pertanyaan, apakah Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu menganggap bahwa "masa magang" itu tidak perlu.
Sebenarnya
ada satu Bijblad yang pernah menyinggung-nyinggung tentang "masa
magang" ini. Dengan Gouvernementsmissive tanggal 29 Nopember 1889 no.
2763, Bijblad no. 5142, kepada Direktur v. Justitie diminta
perhatiannya, agar apabila ada diterima usul untuk pengisian suatu
lowongan tempat notaris, hendaknya di dalam mempertimbangkannya tidak
lagi semata-mata berpegang kepada "ancienniteitsbeginsel", akan tetapi
dengan mempertahankan susunan urutan, terutama memperhatikan kecakapan
dari pelamar yang bersangkutan, dengan pengertian bahwa mengenai
caloncalon yang belum dapat memberikan bukti tentang kecakapannya
sebagai notaris pengganti, untuk memberitahukan kepada mereka untuk
tetap bekerja di bidang notariat dan membuktikan tentang adanya memiliki
kecakapan praktis yang diperlukan.
Akan tetapi yang mengherankan
ialah kenyataan, bahwa Bijblad no. 5421 tersebut baru diumumkan dalam
tahun 1897 dan sekaligus dengan itu dilampirkan "missive" dari
Sekretaris Pertama Gub. Jenderal tanggal 6 Juli 1895 no. 1348 yang
berisikan: "bahwa menurut pertimbangan Pemerintah, di dalam mengisi
lowongan tempat notaris, harus diutamakan kandidat-kandidat yang telah
pernah menjalani masa magang (kerja) sekurang-kurangnya satu tahun dan
lagi pula dikehendaki, agar di dalam mengajukan sesuatu usul untuk
pengangkatan seorang notasi, hal ini diperhatikan oleh Kepala Departemen
yang bersangkutan".
Berdasarkan kenyataan ini, maka pada waktu
itu sangat diragukan, apakah Pemerintah (pada waktu itu) mempunyai
maksud agar peraturan itu sungguh-sungguh dilaksanakan. Timbulnya
keraguan itu sangat beralasan, oleh karena penempatan peraturan tersebut
dalam suatu Bijblad dan bukan dalam ordonansi yang mengatur jabatan
notaris (Notaris Reglement), memberikan kepada peraturan itu hanya suatu
sifat "anjuran" (menganjurkan) dan tidak merupakan suatu persyaratan
yang harus dipenuhi untuk dapat diangkat sebagai notaris. Hal tersebut
memperkuat dugaan yang terdapat di kalangan beberapa pihak, bahwa
penempatan peraturan tersebut dalam suatu Bijblad oleh Pemerintah
dimaksudkan, agar di dalam adanya usul untuk mengisi suatu lowongan
notaris, Pemerintah tetap mempunyai kebebasan di dalam menentukan
pilihannya. Duggan tersebut ternyata adalah benar, oleh karena seperti
yang dikemukakan oleh P. Vellema dalam bukunya "Het Reglement op het
notarisambt in Indonesia", telah terjadi pengangkatan sebagai notaris
seorang pensiunan President Raad van Justitie", yang tidak pernah
bekerja sebelumnya di kantor seorang notaris.
Juga di dalam
Peraturan Jabatan Notaris (P.J.N.) tidak ada diatur tentang pendidikan
notaris, yang diatur hanya tentang ujian notaris, dengan menetapkan
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat menempuh
ujian notaris, akan tetapi bagaimana caranya ia memperoleh ilmu itu sama
sekali tidak dipersoalkan. Juga sangat disayangkan, bahwa dari pihak
Pemerintah sangat kurang perhatian mengenai pendidikan notariat.
Jika
programme ujian yang berlaku di Indonesia ini dibandingkan dengan yang
berlaku di negeri Belanda sampai pada sa'at penyerahan kedaulatan kepada
Indonesia, yang menguraikan persyaratan-persyaratan untuk berbagai mata
pelajaran yang diujikan kepada para calon notaris, maka jelas dapat
dilihat bahwa tidak ada perbedaan di antara keduanya. Syarat-syarat
ujian adalah sama. Para notaris Indonesia sepanjang mengenai pengetahuan
vak (vakkennis) sederajat dengan para notaris di negeri Belanda.
Ujian
notaris sebagaimana itu diatur dalam P.J.N. adalah ujian Negara,
artinya untuk mengambil ujian, maka tiap-tiap kali oleh Departemen
Kehakiman dibentuk panitia ujian yang dimaksud dalam pasal 14 P.J.N.
Undang-undang
i.c. P.J.N. masih tetap mempergunakan ujian semata-mata sebagai ukuran
untuk menilai kecakapan teoritis dan kemampuan praktis dari seorang
notaris. Cara ini tidak dapat dipertahankan lagi. Dikatakan demikian
oleh karena pada hakekatnya terdapat hubungan yang tidak terpisahkan
satu sama lain di antara tugas dari seorang notaris dalam lalu lintas
masyarakat dewasa ini, pendidikan untuk jabatan notaris yang akan
dijalankannya dan persyaratan ujian.
Di mana sifat dari ujian vak
ini menentukan sifat dari pendidikan yang diperlukan untuk itu dan
syarat-syarat yang diharuskan bagi notaris praktek, agar ia dapat
menunaikan tugasnya dengan baik, mempunyai pengaruh besar terhadap sifat
dari pendidikan notariat, maka timbul pertanyaan, apakah dengan
memperhatikan perkembangan lalu lintas hukum sekarang ini dan tugas yang
harus dipenuhi oleh seorang notaris di dalam lalu lintas hukum itu
dianggap perlu untuk mengadakan perubahan dalam bentuk dan isi dari
pendidikan notariat ini? Menurut hemat saya hal ini sangat perlu, oleh
karena menurut kenyataannya, bersamaan dengan perkembangan waktu, tugas
notaris telah pula berkembang sebagaimana itu sekarang ini, yakni
notaris sebagaimana menurut undang-undang dan notaris menurut yang
sebenarnya dan tugas yang harus dijalankannya, yang diletakkan kepadanya
oleh undang-undang, sangat berbeda sekali dengan tugas yang dibebankan
kepadanya oleh masyarakat di dalam praktek.
Jadi apabila peraturan
hukum tentang persyaratan untuk dapat diangkat sebagai notaris
memperhatikan dengan teliti tugas yang harus dilakukan oleh notaris di
dalam kehidupan modern sekarang ini; maka sudah seharusnya P.J.N. memuat
peraturan- peraturan yang memberikan jaminan, bahwa tidak seorang pun
dapat diangkat menjadi notaris, jika ia tidak memiliki pengetahuan yang
oleh undang-undang dianggap merupakan jaminan yang cukup tentang adanya
pengetahuan umum serta pengetahuan hukum dan juridic yang benar-benar
sesuai dengan persyaratan yang dituntut oleh lalu lintas hukum modern
dari seorang notaris.
Maka untuk kepentingan suatu pendidikan yang
baik, terutama untuk memperoleh pengetahuan.juridis yang umum (algemene
juridise ontwikkeling) sudah pada tempatnya pendidikan notariat
dijadikan pendidikan universitair berdasarkan undang-undang.
Dengan
diadakannya pendidikan notariat yang merupakan pendidikan "pasca
sarjana" pada Universitas Indonesia, yang kemudian disusul pada
Universitas Pajajaran, Universitas Gajah Mada, Universitas Airlangga,
Universitas Diponegoro, Universitas Sumatera Utara, dan Universitas
Sriwijaya adalah sangat tepat dan merupakan perwujudan dari suatu
keinginan yang telah lama ada.
Walaupun pendidikan notariat serupa
ini sebenarnya sudah sejak lama diharap-harapkan, namun kita tidak
perlu berkecil hati, jika diketahui bahwa di negeri Belanda sendiri,
yang telah jauh lebih lama mengenal lembaga notariat ini dan telah juga
lebih lama berusaha ke jurusan itu, baru mulai tahun 1958 pendidikan
notariat di negeri Belanda dijadikan pendidikan universitair, berkat
kegigihan dan usaha Prof. Mr. A.R. de Bruijn.
Namun demikian masih
disayangkan, bahwa adanya pendidikan notariat universitair (pasca
sarjana) di Indonesia belum diatur dalam suatu perundang-undangan dan
juga belum, merupakan satu-satunya pendidikan notariat, oleh karena di
samping itu masih tetap diadakan ujian negara, sungguhpun hanya untuk
Bagian III (terakhir), sedang ujian Bagian I dan II tidak diadakan lagi,
walaupun belum pernah dihapuskan secara resmi.
Selain daripada
itu ternyata di dalam praktek yang dapat diterima untuk pendidikan
notariat pasca sarjana adalah semua sarjana hukum yang telah menamatkan
pelajarannya pada Fakultas Hukum Universitas Negeri atau yang dinamakan
dengan itu, tanpa mengadakan pembedaan di antara para sarjana hukum yang
bersangkutan. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena sekarang ini
sebenarnya tidak lagi terdapat sistim seperti yang ada dahulu, di mana
seorang mahasiswa setelah mencapai suatu tingkat tertentu, dapat
meneruskan studinya dengan memiliki jurusan tertentu, misalnya jurusan
perdata atau jurusan pidana dan sebagainya. Kalaupun sekarang ini ada
dikatakan, bahwa seseorang telah menamatkan pendidikannya menjadi
Sarjana Hukum Jurusan Perdata, sebenarnya hal ini hanya berdasarkan
kenyataan, bahwa yang bersangkutan telah membuat skripsi mengenai
sesuatu bidang hukum perdata.
Sejarah notariat Indonesia,
sebagaimana juga halnya dengan notariat di negara-negara lain mengenal
masa kejayaannya dan masa kemerosotannya.
Dalam tahun 1954
diundangkan "Undang-undang tentang Wakil-notaris dan Wakil-notaris
Sementara" (L.N. 1954 — 101), di dalam pasal 4 dari undang-undang mana
dinyatakan:
a. untuk ditunjuk sebagai Wakil-notaris (sementara)
seorang tidak perlu lulus dalam ujian yang dimaksud dalam pasal 13
Reglemen;
b. dalam pada itu sedapat mungkin ditunjuk seorang yang
telah lulus dalam satu atau dua bahagian dari ujian yang dimaksud dalam
pasal 13 Reglemen.
Di dalam konsiderans dari undang-undang
tersebut dapat di-baca pertimbangan dari pembuat undang-undang untuk
mengeluarkan undang-undang itu, antara lain dikatakan:
a. bahwa
perlu diadakan peraturan supaya dalam hal seorang penjabat notaris tidak
ada, jabatan notaris itu dapat dijalankan sebaik-baiknya.
b. bahwa
berhubung dengan hal-hal yang mendesak peraturan ini harus segera
diadakan dengan tidak menunggu pengaturan kenotariatan seluruhnya.
Terlepas
dari pertanyaan, apakah mereka yang memiliki izasah Bagian I dan/atau
II telah mempunyai cukup pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat
menjalankan tugasnya dengan baik, maksud daripada undang-undang
tersebut, sebagaimana itu dapat dinilai dari konsiderans di atas, adalah
baik. Namun pelaksanaan dari undang-undang tersebut telah menyebabkan
timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan, yang memerosotkan nama baik
dari korps notariat.
Di dalam pelaksanaan dari undang-undang
tersebut, para Wakil Notaris (sementara) yang diangkat itu menurut yang
tercantum di dalam surat pengangkatannya diangkat untuk satu tahun dan
kemudian setelah berakhirnya jangka waktu satu tahun Itu, diperpanjang
lagi untuk satu tahun dan demikian seterusnya. Sudah barang tentu cara
sedemikian tidak memberikan perasaan yang tenteram bagi yang
bersangkutan, oleh karena selalu dibayangi oleh perasaan takut,
kalau-kalau masa jabatannya satu tahun itu setelah berakhir, tidak
diperpanjang lagi.
Akibatnya ialah, bahwa Wakil Notaris
(sementara) yang bersangkutan berusaha untuk mendapatkan uang sebanyak
mungkin, pertama dengan pertimbangan untuk. dapat menutup biaya-biaya
yang telah dikeluarkannya untuk pembuktian kantornya itu, yang pada
umumnya tidak sedikit jumlahnya dan untuk persediaan, apabila ia tidak
diangkat kembali. Timbullah dalam hal ini pikiran, seperti yang
dikatakan dalam bahasa Belanda: "Halen wat er te halen valt".
Keadaan
ini sungguh tidak menguntungkan bagi pembinaan dan perkembangan suatu
notariat yang baik dan akibatnya hanya memerosotkan lembaga notariat ini
di mata masyarakat yang dilayaninya. Untunglah keadaannya lambat lawn
membaik kembali dengan lulusnya sebagian bestir dari para Wakil Notaris
(sementara) tersebut dan dengan dihentikannya kemudian pengangkatan para
Wakil Notaris (sementara) baru.
Dalam periode 1960 — 1965,
terutama di zaman Kabinet 100 Menteri, notariat banyak mengalami
kegoncangan-kegoncangan. Tanpa mengindahkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, maka pada waktu itu dikeluarkan suatu surat keputusan
yang bertujuan mengadakan "peremajaan" di kalangan para notaris,
sekalipun mengenai batas umur bagi para notaris untuk dapat dipensiunkan
telah diatur dalam undang-undang (P.J.N.) sendiri.
Dalam pada itu
sangat mengherankan, bahwa di antara para notaris yang terkena
peraturan "peremajaan" itu, ada yang diangkat kembali berdasarkan
dispensasi, dengan memperpanjang masa jabatannya.
Dipengaruhi oleh
keadaan pada waktu itu, terjadilah pengangkatan-pengangkatan para
notaris/wakil notaris baru, dengan tidak lagi berpedoman kepada dan
tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang
berlaku dan bahkan ada kalanya sudah merupakan pengangkatan politis.
Setelah
terjadinya pergeseran-pergeseran pimpinan, maka beberapa notaris yang
terkena "peremajaan" dan tidak mendapat dispensasi, diangkat kembali
(direhabilitier). Adanya rehabilitasi ini sangat diperlukan untuk
menghilangkan "image" yang ada di kalangan masyarakat umum terhadap para
notaris yang timbul disebabkan "peremajaan" itu, yakni anggapan
masyarakat bahwa apa yang telah terjadi itu bukaniah suatu "peremajaan",
akan tetapi pemecatan-pemecatan disebabkan tindakan-tindakan dan
perbuatanperbuatan para notaris yang melanggar hukum.
Di seluruh
Indonesia dewasa ini terdapat kurang lebih 350 notaris (termasuk di
dalamnya wakil notaris). Dahulu di samping notaris dan wakil notaris
terdapat yang dinamakan notaris merangkap, yakni para Bupati yang di
samping jabatannya tersebut juga merangkap sebagai notaris. Sejak
dikeluarkannya surat keputusan Menteri Dalam Negeri yang melarang para
Bupati merangkap jabatan notaris, maka hapuslah jabatan notaris
merangkap ini.
Menurut peraturan yang berlaku, Pemerintah menetapkan
formasi (jumlah notaris) untuk tiap-tiap kota atau tempat atau dengan
perkataan lain. Pemerintah tidak menetapkan jumlah notaris untuk seluruh
Indonesia. Berbicara mengenai jumlah notaris yang dibutuhkan di
Indonesia, maka jika dibandingkan dengan negara-negara lain, jumlah yang
ada sekarang masih belum mencukupi.
Di negeri Belanda misalnya
dewasa ini, jika jumlah notaris yang ada dibandingkan dengan jumlah
penduduknya, maka terdapat satu notaris untuk kurang lebih 6.000 jiwa.
Apabila kita mengambil sebagai contoh perbandingan yang ada di negeri
Belanda, maka di Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak kurang lebih
130 juta orang, sekurang-kurangnya harus ada 20.000 notaris.
Dalam
pada itu tidak boleh dilupakan, bahwa di samping berhagai faktor yang
berbeda dengan di negara kita, di negeri Belanda rakyatnya telah begitu
"notaris-minded", sehingga dapat dikatakan segala persoalan yang
berhubungan dengan harta kekayaannya di bidang hukum keperdataan
dipercayakan pengurusannya kepada notarisnya.
Dalam Kongres
ke-VIII Ikatan Notaris Indonesia yang diadakan dalam tahun 1970 di Solo,
bapak Prof. R. Soebekti S.H., pada waktu itu Ketua Mahkamah Agung R.I.
pernah mengemukakan keinginannya agar dalam waktu yang singkat Indonesia
telah mempunyai 2.000 notaris, agar dengan demikian di tiap-tiap
Kabupaten atau dalam daerah hukum dari tiap-tiap Pengadilan Negeri
terdapat sekurang-kurangnya 2 notaris. Gagasan beliau itu sangat baik
dan dimaksudkan tidak lain agar dapat diberikan pelayanan oleh para
notaris sampai kepada penduduk di desa-desa.
Yang menjadi
pertanyaan dalam hal ini ialah bagaimana caranya agar keinginan tersebut
dapat menjadi kenyataan. Pendidikan notariat di Indonesia baru ada pada
4 Universitas, yakni Universitas Indonesia, Universitas Pajajaran,
Universitas Gajah Mada dan Universitas Sumatera Utara. Keempat
universitas tersebut menghasilkan tiap-tiap tahun kurang lebih 30 sampai
40 Candidaat Notaris, sehingga untuk mencapai jumlah tersebut di atas
diperlukan waktu kurang lebih 60 sampai 70 tahun dan mungkin lebih,
mengingat bahwa sementara itu di antara notaris yang ada sekarang ini
akan ada yang meninggal dunia atau dipensiunkan. Apabila gagasan
tersebut sungguh-sungguh hendak dijadikan kenyataan, maka dari sekarang
ini juga harus dipikirkan dan diambil langkah-langkah yang diperlukan
bagi realisasinya.
Dalam hubungannya dengan pendidikan dan
pembinaan profesi notariat, pada beberapa tahun terakhir ini terlihat
dengan jelas adanya perhatian Pemerintah di bidang itu, hal mana
disambut dengan hangat oleh Ikatan Notaris Indonesia dan para notaris
sendiri, demi untuk peningkatan mutu dan pendidikan notariat di dalam
pengabdiannya kepada masyarakat umum.
Di dalam kehidupan yang
dinamis sekarang ini bagi notariat juga merupakan suatu keharusan untuk
lebih tajam melihat ke depan daripada masa-masa silam. Untuk itu
diperlukan pengetahuan tentang sejarah perkembangannya sendiri, oleh
karena dengan lebih mengenal apa yang terjadi di masa silam dan togas
yang harus dilakukannya di dalam masa pembangunan dewasa ini di segala
bidang, para notaris akan dapat lebih baik memandang ke masa depan.
Hendaknya
para notaris harus senantiasa waspada, agar tidak tertinggal di
belakang. Apabila para notaris tidak ingin pihak lain membicarakan
hal-hal yang menyangkut dirinya, tanpa hadirnya para notaris sendiri,
maka para notaris harus mempersenjatai dirinya sendiri mulai sekarang
ini juga.
Hendaknya diingat bahwa para notaris tidak akan dapat
mempersenjatai dirinya, apabila para notaris di samping perhatiannya
untuk pekerjaannya sehari-hari, tidak mempunyai perhatian untuk
pembangunan yang kini sedang giat-giatnya dilakukan di segala bidang,
terutama di bidang pembangunan hukum.
(9) SIFAT PERATURAN JABATAN NOTARIS.
Peraturan
Jabatan Notaris termasuk dalam rubrik undang-undang dan
peraturan-peraturan organik, oleh karena ia mengatur jabatan notaris.
Materi yang diatur dalam Peraturan Jabatan Notaris termasuk dalam hukum
publik, sehingga ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya adalah
peraturan-peraturan yang memaksa (dwingend recht).
Peraturan
Jabatan Notaris terdiri dari 66 pasal dan mengandung 39 ketentuan
hukuman dan di samping itu dengan tidak mengurangi banyak
ancaman-ancaman untuk membayar ongkos, kerugian dan bunga.
Ketentuan-ketentuan hukuman tersebut menyangkut 3 hal tentang hilangnya
jabatan, 5 tentang pemecatan, 9 tentang pemecatan sementara dan 22
tentang denda.
Lembaga Notariat di Indonesia berada di dalam lingkungan Departemen Kehakiman (Stbl. 1870 — 42: psi. 1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar